Hukum Ziarah Kubur

ZIARAH KUBUR HUKUMNYA SUNNAH

Oleh: Syekh Allamah Syekh Ahmad Surkati (1874-1943 M)

Diambil dari: Azzakhiratul Islamiyyah No. 2, Safar 1342 H

TANYA:

Bagaimana hukum Ziarah Kubur dalam pandangan agama atau syara’? Apakah sunnah, wajib, mubah, makruh atau haram? (AHMAD SJOEKRI, seorang murid Al-Irsyad School di Batavia yang berasal dari Lampung, pada 8 Zulqaidah 1341)

JAWABAN SYEKH AHMAD SURKATI:

Ahmad Surkati 220Hukum ziarah kubur adalah SUNNAH. Itupun apabila ziarah dilakukan untuk merundukkan hati dengan melihat kubur serta ingat akan akhirat. Di samping itu, juga dengan komitmen tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan munkar, seperti: meratap, membakar dupa, memasang lampu, meminta syafaat atau barakah dari si mayit, shalat, mendirikan mesjid di atas kubur tersebut, membaca Al-Qur’an, memotong hewan, bernazar, dan perbuatan mungkar lainnya. Semua itu adalah perbuatan munkar, hanya saja tingkatannya ada yang makruh, ada yang haram, serta ada pula yang syirik dan jelas-jelas kufur.

Di atas disebutkan bahwa ziarah kubur yang terbebas dari segala perbuatan munkar hukumnya adalah sunnah, hal ini didasarkan sabda Nabi saw seperti yang dirawikan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya dari Zaid bin Sabit sebagai berikut:
Continue reading “Hukum Ziarah Kubur”

Niat Shalat

MELAFAZKAN NIAT SHALAT

Oleh: Syekh Allamah Syekh Ahmad Surkati (1874-1943 M)

Diambil dari: Majalah Azzakhiratul Islamiyyah No. 1, Muharram 1342 H

TANYA:

Apakah niat itu harus diniatkan sebelum takbiratul ihram, sesudahnya, atau ketika mau takbir? Niat itu perlu diucapkan dengan lisan atau tidak? Wajibkah niat dan takbir diucapkan bersamaan dengan lisan dan hati seperti kata kebanyakan orang yang menyatakan: nawaitu ushalli fardhudzuhri ada-an lillahi taala lantas mengucapkan: Allahu Akbar (AHMAD SJOEKRI, murid Al-Irsyad School di Batavia yang berasal dari Lampung, pada 8 Zulqaidah 1341)

JAWABAN SYEKH AHMAD SURKATI:

Syekh Ahmad Surkati asliTentang niat dalam melakukan ibadah shalat hukumnya adalah wajib, sebab merupakan salah satu rukun sahnya shalat. Seseorang yang melakukan tanpa didahului degan niat, maka dianggap dia tidak shalat. Tidak mungkin terjadi seseorang yang berakal sehat melakukan sesuatu perbuatan dengan tidak mempunyai maksud, kecuali ia tidur, sakit atau mabuk, gila dan sebagainya.

Orang yang shalat karena Allah (bukan karena riya), dan dikerjakan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, berkhusyuk kepada Allah dan pada waktu yang ditentukan, maka pahalanya pun dari Allah. Namun, jika untuk mendapat pujian orang (riya), meskipun shalatnya dilakukan dengan sempurna, tidak akan terbilang sebagai shalat yang sejati. Bagi si pelakunya bukan saja tidak mendapat pahala bahkan mendapat siksa.
Continue reading “Niat Shalat”

Shalat Tarawih

JUMLAH RAKAAT SHALAT TARAWIH

Oleh: Syekh Al-Allamah Ahmad Surkati al-Anshari (1874-1943 M)

Diambil dari: Majalah Azzakhiratul Islamiyyah, Tahun ke-1, No. 2, Safar 1342 H

PERTANYAAN:

Shalat tarawih apakah sebelas rakaat dengan witir ataukah dua puluh tiga rakaat? Dan mana yang lebih afdal: shalat tarawih berjamaah atau sendirian, di rumah atau di masjid?(Ahmad Syukri, murid Al-Irsyad School di Batavia, asal Lampung, pada 8 Zulqaidah 1341)

JAWABAN Syekh Ahmad Surkati:

Ahmad Surkati 220Tarawih atau melaksanakan shalat pada malam bulan Ramadhan hukumnya adalah Sunnah Muakkadah (shalat sunnah yang keras dianjurkan untuk menjalankannya). Menurut sabda Nabi saw.,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barang siapa berdiri shalat pada malam bulan Ramadhan karena iman dan keikhlasannya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Shalat tarawih ini lazim juga disebut “shalat witir” , sebab ia diakhiri dengan satu rakaat. Shalat ini adalah shalat tathawwu (shalat yang sering dilakukan sendiri), diselenggarakan di antara isya dan subuh. Hanya saja shalat tersebut sangat diutamakan pada bulan Ramadhan.
Continue reading “Shalat Tarawih”

Badai Fitnah untuk Ahmad Surkati & Al-Irsyad

AHMAD SURKATI, Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia (5)

Oleh: Prof. Dr. Bisri Affandi, MA

Mendekati tahun 1919 keberadaan Al-Irsyad mengalami kegoncangan akibat tantangan pihak Alawi yang mampu menimbulkan ketegangan di tubuh organisasi ini. Akibat terbitnya risalah Surat al-Jawab di surat kabar Suluh Hindia, golongan Alawi memberikan reaksi keras dan emosional, dalam bentuk penyebaran kecaman dan fitnah lewat surat kabar Al-Iqbal dan Hadramaut.

Sejarah mencatat, konfrontasi itu kemudian meningkat lebih dewasa dengan munculnya buku Alawi yang berjudul Irsal al-Shihab ala Surat al-Jawab yang ditulis Abdullah bin Muhammad Sadaqah Dahlan. Buku ini, oleh Ahmad bin Aqib al-Ansari, atas nama Al-Irsyad, dijawab dengan tulisan yang diberi judul Kitab Fasl al-Khitab fi Ta’yid Surat al-Jawab.

Ada dugaan buku al-Aqib itu dinilai kalangan Alawi sebagai sangat berbahaya bagi keberadaan kepercayaan Alawi. Di sisi lain, perkembangan pesat Madrasah Al-Irsyad pasti akan menimbulkan rasa dengki bagi kaum Alawi. Tak heran bila kaum Alawi berusaha menghambat gerakan Al-Irsyad dengan mempengaruhi pihak ketiga, misalnya dengan mendekati pemerintah Inggris.

Upaya kaum Alawi itu pada tahun 1918 mengakibatkan pemerintah Inggris mengeluarkan larangan bagi kaum Irsyadi memasuki wilayah Inggris.[1] Dan sebagai kelanjutannya, kaum Alawi juga berhasil mendekati sultan-sultan di Hadramaut, yang kemudian mengeluarkan larangan masuk bagi kaum Irsyadi ke negeri itu. Di samping itu, juga dilakukan pengawasan ketat terhadap orang-orang Irsyadi yang sedang berada di Hadramaut.
Continue reading “Badai Fitnah untuk Ahmad Surkati & Al-Irsyad”

Ahmad Surkati Dirikan Madrasah Al-Irsyad

AHMAD SURKATI, Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia (4)

Oleh: Prof. Dr. Bisri Affandi, MA

 

SYEKH AHMAD SURKATI di antara para sahabatnya
SYEKH AHMAD SURKATI di antara para sahabatnya

 

Di saat-saat menyedihkan itu, para pemuka masyarakat Arab Jakarta dari golongan non-Alawi, Umar Manggusy serta dua sahabatnya, Saleh Ubaid dan Said Salim Masy’abi, menemui Ahmad Surkati dan memintanya untuk tidak kembali ke Makkah. Utusan yang dipimpin Umar Manggusy[1] ini mengajak Ahmad Surkati pindah dari Pekojan ke Jati Petamburan dan mempercayakan padanya untuk memimpin madrasah yang mereka dirikan.

Ahmad Surkati menerima ajakan dan permintaan itu. Bertepatan dengan 1Syawal 1332 H atau 6 September 1914 pula secara resmi Ahmad Surkati membuka serta memberi nama sekolah itu Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah. Bersamaan dengan pembukaan madrasah itu, dia juga menyetujui didirikannya jam’iyah yang akan menaunginya. Jam’iyah itu ia namakan “Jam’iyah al-Islah wa Al-Irsyad al-Arabiyah”.

Jam’iyah itu pada tanggal 11 Agustus 1915 memperoleh pengakuan rechtspersoon (status badan hukum) dari pemerintah Belanda. Namun, menurut Husein Abdullah bin Aqil Bajerei[2], walau pengakuan badan hukum itu keluar 11 Agustus 1915 tapi sebagai jam’iyah Al-Irsyad mencatat hari dan tanggal kelahirannya bersamaan dengan resmi dibukanya madrasah Al-Irsyad yang pertama di Jati Petamburan, Jakarta, pada hari Ahad 15 Syawal 1332 H (6 September 1914).
Continue reading “Ahmad Surkati Dirikan Madrasah Al-Irsyad”