AHMAD SURKATI, Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia (6)
Oleh: Prof. Dr. Bisri Affandi, MA
Di bidang pendidikan, tahun 1919 adalah tahun yang sulit bagi madrasah-madrasah Al-Irsyad. Tampaknya Ahmad Surkati yang diberi tanggung-jawab mengembangkan pendidikan Al-Irsyad, berusaha mencari jalan keluar dari kelemahan dan hambatan yang dihadapinya.
Ia memahami bahwa kualitas guru-guru dan juga anggota pimpinan organisasi yang belum masak, baik imu maupun pengalaman, merupakan penyebab utama berbagai kelemahan di tubuh Al-Irsyad. Organisasi ini, yang saat itu belum berumur empat tahun, telah dituntut membentuk cabang-cabang di daerah, serta dilengkapi dengan pembentukan lembaga pendidikannya. Dengan demikian, kekuatan guru-guru senior Irsyadi, yang sejak berdirinya Al-Irsyad berkumpul di Jakarta, mulai tahun 1917 terbagi-bagi ke pelbagai daerah. Hal itulah yang menyebabkan pada tahun 1919 Ahmad Surkati mengajukan usulan perbaikan pendidikan di lingkungan Al-Irsyad, meliputi kesatuan kurikulum dan silabus, penyusunan buku pelajaran, perpustakaan bagi guru dan mufti, struktur organisasi pendidikan, serta pengajaran ilmu terapan yang akan jadi bekal bagi murid-murid pribumi untuk memperoleh pekerjaan.
Hanya saja, belum sempat Ahmad Surkati dan pimpinan pusat Al-Irsyad membenahi bidang pendidikan, muncul lagi fitnah yang menimpa dirinya. Ahmad Surkati dituduh menjadi biang keladi perpecahan di tengah masyarakat Hadrami.
Tapi, diperoleh bukti-bukti bahwa di tahun yang sama, 1919, Ahmad Surkati justru melibatkan diri dalam suatu usaha persatuan antara golongan Alawi dan Irsyadi di atas suatu perjanjian yang disetujui bersama, yang berorientasi pada kepentingan golongan Arab di Indonesia. Ternyata usaha ini gagal.
Usaha itu diulang lagi pada tahun 1921 lewat uluran tangan Husain Abidin dari Singapura, yang setelah konsultasi dengan pemerintah Singapura melakukan perjalanan ke Indonesia untuk merealisasi suatu perjanjian persatuan antara golongan Alawi dan Irsyadi. Usaha Husain Abidin ini juga mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan-kegagalan ini, menurut golongan Alawi, karena ikut berperannya Ahmad Surkati.
Di balik tudingan itu ditemukan ada pernyataan dari anggota-anggota pengurus Jamiat Khair dalam suatu pertemuan membahas insiatif adanya Lajnah al-Wahdat al-‘Arabiyah al-Kubra (Komite Agung Persatuan Arab), bahwa mereka tidak akan ikut bila Ahmad Surkati duduk di dalamnya. Umar Sulaiman Naji mengutip pernyataan itu, bahwa:
“Setelah berdebat dan berdiskusi diputuskan bahwa mereka tidak akan masuk sebagai anggota komite selagi Ahmad Surkati al-Sudani menjadi salah satu anggotanya.”
Dalam kondisi organisasi seperti itu Ahmad Surkati mengajukan permohonan mundur sementara dari Al-Irsyad dan melakukan usaha dagang selama satu setengah tahun (1921-1923). Menurut pengamatan Umar Sulaiman Naji, yang mendapat predikat penulis sejarah Al-Irsyad dan memiliki hubungan erat dengan Ahmad Surkati, alasan pengunduran diri itu karena ia sangat berkeinginan merealisasi usulan perbaikan madrasah Al-Irsyad. Dia juga menyadari kepengurusan Al-Irsyad masih dilanda berbagai cobaan, sebab itu Ahmad Surkati ingin memperoleh kekuatan materil melalui usaha dagang.
Umar Naji menceritakan, pada mulanya usaha dagang Ahmad Surkati sukses. Namun, dalam perkembangannya ia tidak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan usahanya hingga selalu mengalami kerugian. Akhirnya, sebelum jauh tenggelam dalam perubahan arus perdagangan yang demikian cepat, di tahun 1923 ia kembali ke dunia pendidikan dengan mendirikan, atas namanya sendiri, “Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah”.
Kehidupan madrasah yang didirikan Ahmad Surkati itu ditunjang para dermawan teman-teman dekatnya, antara lain Syekh Umar bin Manggusy, Syekh Said bin Salim Masy’abi, Abdulah bin Alwi Alatas, Syekh Said bin Abdullah Basalamah, dan Syekh Abdullah bin Salim bin Mahri. Dalam prakteknya, madrasah yang ditunjang sahabat-sahabatnya ini memang berdiri di luar jaringan konsolidasi organisasi Jam’iyat al-Islah wa Al-Irsyaad al-Arabiyah.
Perkembangan selanjutnya diperoleh bukti bahwa Ahmad Surkati ternyata melaksanakan program takhassus. Program khusus ini dimaksudkan untuk mengatasi lemahnya kualitas ilmu yang dimiliki para alumni sekolah Al-Irsyad, khususnya yang bekerja sebagai guru dan penulis.
Diperkirakan mundurnya Ahmad Surkati dari Al-Irsyad pada tahun 1921 itu juga didasarkan keinginannya menyaksikan kembali bersatunya golongan Irsyadi dan Alawi. Dengan demikian, diharapkan madrasah-madrasah Al-Irsyad akan tumbuh lebih baik.
Kenyataannya tidak seperti yang diharapkan Ahmad Surkati. Yang terjadi, madrasah Al-Irsyad di Jakarta mengalami kemunduran. Dua guru (dari Mesir) yang dikirim Rasyid Ridha di tahun 1922 atas permohonan Al-Irsyad untuk menggantikan kedudukan Syekh Ahmad Surkati, yaitu Syekh Muhammad Abu Zayd dan Abdul Rachim, ternyata tidak berperan dan hanya menghabiskan biaya saja. Bahkan, dalam waktu kurang dari dua tahun mereka sudah kembali pulang. Sedang Al-Irsyad sebagai organisasi baru bisa bangkit kembali di tahun 1927 di bawah kepemimpinan Syekh Ali Mughits.*
BACA JUGA:
SYAIKH AHMAD SURKATI, Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia (5)
SYAIKH AHMAD SURKATI, Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia (4)
AHMAD SURKATI tentang Hukum Ziarah Kubur